Kebudayaan adalah salah satu istilah
teoritis dalam ilmu-ilmu sosial. Secara umum, kebudayaan diartikan sebagai
kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian kebudayaan sehari-hari
yang hanya merujuk pada bagian tertentu warisan sosial, yakni tradisi sopan
santun dan kesenian. Istilah kebudayaan ini berasal dari bahasa latin Cultura
dari kata dasar colere yang berarti berkembang atau tumbuh.
Dalam ilmu-ilmu sosial istilah
kebudayaan sesungguhnya memiliki makna bervariasi yang sebagian diantaranya
bersumber dari keragaman model yang mencoba menjelaskan hubungan antara
individu, masyarakat, dan kebudayaan.
Setiap individu menjalankan kegiatan
dan menganut keyakinannya sesuai dengan warisan sosial atau kebudayaannya. Hal
ini bukan semata-mata karena adanya sanksi tersebut, atau karena mereka merasa
menemukan unsur-unsur motivasional dan emosional yang memuaskan dengan menekuni
kegiatan-kegiatan dan keyakinan cultural tersebut.
Dalam rumusan ini , istilah warisan
sosial disamakan dengan istilah kebudayaan. Lebih jauh, model tersebut
menyatakan bahwa kebudayaan atau warisan sosial lebih adaptif baik secara
sosial maupun individual, mudah dipelajari, mampu bertahan dalam waktu lama,
normative dan mampu menimbulkan motivasi. Namun tinjauan empiris terhadapnya
memunculkan definisi terbaru tentang kebudayaan seperti yang diberikan EB
Taylor, “Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adab, serta kemampuan dan kebisaan
lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”
Kebanyakan ilmuwan sosial membatasi
definisi kebudayaan sehingga hanya mencakup aspek tertentu dari warisan sosial.
Biasanya pengertian kebudayaan dibatasi pada warisan sosial yang bersifat mental
atau non fisik. Sedangkan aspek fisik dan artefak sengaja disisihkan. Hanya
saja definisi yang terlanjur berkembang adalah definisi sebelumnya dimana
kebudayaan diartikan bukan sekedar istilah deskriptif bagi sekumpulan gagasan,
tindakan dan obyek, melainkan juga merujuk pada entitas-entitas mentalyang
menjadi pijakan tindakan dan munculnya obyek tertentu.
Consensus yang kini dianut oleh para
ilmuwan sosial masih menyisihkan aspek emosional dan motivasional dari istilah
kebudayaan, dan mereka tetap terfokus maknanya sebagai himpunan pengetahuan,
pemahaman atau proposisi. Namun mereka mengakui bahwa, sebagian
proposisikultural membangkitkan emosi dan motivasi yang kuat. Dalam kasus ini
proposisi tersebut dikatakan telah terinternalisasi.
Sebagian ilmuwan sosial bahkan
berusaha membatasi lagi pengertian istilah kebudayaan tersebut hingga hanya
“mencakup bagian-bagian warisan sosial yang melibatkan representasi atas
hal-hal yang dianggap penting, tidak termasuk norma-norma atau pengetahuan
procedural mengenai bagaimana sesuatu harus dikerjakan” (Schneider, 1968).
Sementara itu ada pula yang membatasi pegertian kebudayaan sebagai makna-makna
simbolik yang mengandung muatan representasi dan mengkomunikasikannya dengan
peristiwa nyata. Geertz menggunakan makna ini secara eksklusif sehingga
ia tidak saja mengesampingkan aspek-aspek afektif, motivasional, dan normative
dari warisan sosial namun juga mempermasalahkan penerapan makna kebudayaan
dalam individu. Menurutnya, “kebudayaan hanya berkaitan dengan makna-makna
public yang terus berlaku meskipun berada diluar jangkauan pengetahuan individu
; contohnya mungkin adalah aljabar yang dianggap selalu benar dan berlaku,
meski sedikit saja orang yang menguasainya”.
Perselisihan mengenai definisi
kebudayaan itu mengandung argumen-argumen implisit tentang sebab-sebab atau
asal mula warisan sosial. Misalnya saja ada kontroversi mengenai koheren atau
tidaknya kebudayaan itu sehingga lebih lanjut kita dapat mempertanyakan sifat
alamiahnya. Disisi lain para ilmuwan sosial memendang keragaman dan kontradiksi
di seputar pengertian atau definisi kebudayaan itu sebagai sesuatu yang wajar.
Meskipun hampir setiap elemen kebudayaan dapat ditemukan pada hubungan-hubungan
antar elemen seperti yang ditunjukkan oleh Malinowski dalam Argonauts of the
Western Pacifis (1922). Tidak banyak bukti yang mendukung dugaan akan adanya
pola tunggal hubungan tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ruth Benedict
dalam bukunya Pattern of Culture (1934).
Berbagai persoalan yang melingkupi
upaya intergrasi definisi-definisi kebudayaan terkait dengan masalah lain,
yakni apakah kebudayaan itu merupakan suatu entitas padu atau tidak. Jika
kebudayaan dipandang sebagai suatu kumpulan elemen yang tidak membentuk
kesatuan koheren, maka yang harus diperhitungkan adalah fakta bahwa
warisan sosial senantiasa melebur dalam suatu masyarakat. Sebaliknya jika kita
menganggap kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan koheren, maka kumpulan
elemen-elemennya bisa dipisahkan dan dibedakan satu sama lain.
Kerancuan tersebut lebih jauh
membangkitkan minat untuk menelaah koherensi dan integrasi kebudayaan,
mengingat dalam kenyataannya pengetahuan anggota masyarakattentang kebudayaan
mereka tidaklah sama. Hanya saja tidak ada metodeyang telah terbukti handal
untuk mengukur sejauh mana koherensi dan integrasi sebuah kebudayaan. Bahkan
muncul bukti-bukti yang menunjukkan bahwa elemen-elemen budaya cenderung dapat
digolongkan menjadi dua bagian besar. Pertama adalah sejumlah kecil
elemen yang hampir dipunyai oleh semua anggota masyarakat sehingga diantara
mereka dapat tercipta suatu hubungan yang saling pengertian. (misalnya
lampu merah berarti tanda berhenti), sedangkan yang kedua adalah
elemen-elemenkultural yang hanya diketahui oleh sebagian anggota masyarakat
yang menyandang status sosial tertentu.(misalnya, pelanggaran ketentuan kontrak
tidak bisa diterima)
Dibalik kerancuan definisi ini
terdapat masalah-masalah penting lainnya yang juga harus dipecahkan. Keragaman
definisi kebudayaan itu sendiri dapat dipahami sebagai giatnya upaya mengungkap
hubungan kausalitas antara berbagai elemen warisan sosial. Sebagai contoh ,
dibalik pembatasan definisi kebudayaan pada aspek-aspek presentasional dari
warisan sosial itu terletak hipotesis yang menyatakan bahwa norma-norma, reaksi
emosional, motivasi dan sebagainya sangat ditentukan oleh kesepakatan awal
tentang keberadaan, hakekat dan label atas sesuatu hal. Misalnya saja norma
kebersamaan dan perasaan terikat dalam kekerabatan hanya akan tercipta jika ada
system kategori yang membedakan kerabat dan non kerabat. Demikian pula definisi
cultural kerabat sebagai ‘orang-orang yang memiliki hubungan darah’ mengisyaratkan
adanya kesamaan identitas yang memudahkan perbedaannya. Jika representasi
cultural memang memiliki hubugan kausalitas dengan norma-norma, sentiment dan
motif, maka pendefinisian kebudayaan sebagai representasi telah memusatkan
perhatian pada apa yang paling penting. Hanya saja keuntungan dari focus yang
tajam itu dipunahkan oleh ketergantungan definisi itu terhadap asumsi-asumsi
yang melandasinya, yang acap kali kelewat sederhana.
Komponen utama kebudayaan:
- Individu
- Masyarakat
- Alam
Ciri Kebudayaan :
- Bersifat menyeluruh
- Berkembang dalam ruang / bidang geografis tertentu
- Berpusat pada perwujudan nilai-nilai tertentu
Wujud kebudayaan:
- Ide : tingkah laku dalam tata hidup
- Produk : sebagai ekspresi pribadi
- Sarana hidup
- Nilai dalam bentuk lahir
Sifat kebudayaan:
- Beraneka ragam
- Diteruskan dan diajarkan
- Dapat dijabarkan :
– Biologi
– Psikologi
– Sosiologi : manusia sebagai pembentuk kebudayaan
2 komentar:
asyikkk
Nice info, thanks for share, oh ya saya mau berbagi, baru saja saya menemukan Video Viral orang habis ikut kursus bahasa Arab terbaik trus minum Kopi Terbaik sambil simak Media Kalteng trus mau Paid Promote untuk Jual Akik Gambar dengan corak Batik Tulis
Posting Komentar