Rabu, 30 Mei 2012

Lahirnya Postmodernisme Serta Keberhasilannya Membentuk Karakternya Sendiri



Postmodern sering didefinisikan sebagai krisis modernisme atau krisis yang disebabkan oleh modernisasi. Postmodern muncul karena budaya modern menghadapi suatu kegagalan dalam strategi visualisasinya. Kegagalan modernisasi bukan terletak pada tekstualitasnya, tetapi pada strategi visualisasinya yang seragam dan membosankan. Jika sebelumnya budaya ‘barat’ didominasi oleh budaya verbal, maka kini budaya visual menggantikannya.
Fucault, Seorang tokoh pemikir radikal postmodernisme mengatakan bahwa, Budaya itu dikonstruksi oleh subjeknya ( Manusia ) yang bebas, tidak lagi oleh agama dan masyarakat. Intinya ialah kebebasan. Inilah semangat yang tampak akhir-akhir ini setelah modernisme.
Lahirnya postmodernisme terlepas dari sifatnya yang dekonstruktif atau revisioner, yaitu Sebuah respon terhadap kegagalan modernism serta konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Puncak dari era pencerahan atau modernisme adalah kejenuhan akal budi manusia. Ternyata akal budi bukanlah segala-galanya yang dapat menjadi tumpuan harapan manusia. Akal budi bukanlah Tuhan yang memiliki nilai kekekalan. Akal budi hanya akan membawa manusia kepada kegilaan. Intelektualitas yang menjadi kebanggaan dan kesombongan manusia hanya bagai embun pagi yang akan sirna ketika matahari bersinar terang.
Setelah lama berkiprah di dalam dunia, era modernisme mengakhiri riwayatnya dengan semua akibat yang telah dirancang dan dibuatnya. Keraguan-raguan mereka terhadap firman Tuhan, dan Tuhan sendiri telah mengubur mereka dalam ketidakpastian dan lahirlah era baru dengan sebutan “Era Post-modern” dengan segala versinya.
Kejenuhan rasional atau akal budi adalah merupakan latar belakang lahirnya era postmodern. Pada era postmodern akan terjadi pertentangan antara natur dan kultur, fakta dan nilai, ideal dan realistis. Dalam kejenuhan rasional paradigma antropologis menjadi alternatif yang terbaik. Filasafat humanisme menjadi kebutuhan dan tata nilai baru.
Orang-orang yang hidup dalam era postmodern mempunyai kecenderungan untuk menolak hal-hal yang bersifat struktural. Postmodernisme hampir sama dengan post-strukturalisme dan seperti mereka yang menganut aliran kebebasan.
Oleh karena itu, gejala-gejala yang timbul di era postmodernisme tersebut,  antara lain:
1. Perkawinan tidak dianggap lagi sesuatu yang sakral, sehingga kawin-cerai menjadi hal yang biasa;
2. Seks itu banyak, tidak hanya satu ( suami-isteri ), sehingga punya wanita idaman lain atau pria idaman lain adalah yang hal biasa;
3. Seks pra-nikah itu tidak masalah karena dianggap sebagai hak untuk dinikmati;
4. dll, Seperti: Penyalahgunaan narkoba dan meningkatnya angka beragam bentuk kejahatan.

Jadi hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh kaum postmodernisme bahwa: “Manusia di zaman ini tidak mungkin lagi patuh dengan nilai-nilai, walaupun dulu memang nilai-nilai itu ada, namun sekarang itu semua telah berubah”.
Perlawanan terhadap peradaban atau nilai-nilai agama dan kemasyarakatan, itulah semangat postmodernisme. Anti otoritas (nilai-nilai agama, budaya, dan hukum) dan mengagungkan pola hidup individualistik adalah gejalanya. Kalau hal ini yang terjadi, maka kehidupan manusia akan mengarah pada kekacauan dan kebimbangan karena tidak ada lagi pengakuan atas standar-standar kebenaran yang ada.
Persoalannya sekarang ialah, bagaimana agama dan budaya yang sudah ada bisa menyikapi sekaligus mengantisipasi semangat ini. Apakah umat manusia sebagai hamba Tuhan akan mampu menghadapi tantangan kehidupan ini? Apakah kaum beriman mampu memberi “garam” nilai-nilai otoritas (sinar kasih dan kebenaran) ke dalam kehidupan yang “kurang garam”  nilai-nilai otoritas?.

Tidak ada komentar: