Rabu, 21 Desember 2011

“PEMBUDIDAYAAN DAN PEMANFAATAN JERUK KEPROK” DI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR




Jeruk keprok selayar merupakan salah satu komoditas sumber pendapatan petani pada tiga kecamatan di Kabupaten Selayar. Teknologi budi daya yang berkembang di tingkat petani masih bertumpu pada sumber daya setempat sehingga diperlukan perbaikan/introduksi teknologi untuk memperoleh hasil yang optimal. Gangguan hama/penyakit yang berbahaya merupakan ancaman bagi keberlanjutan pertanaman jeruk di daerah tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kelestarian jeruk keprok selayar meliputi pengawasan secara ketat dan berkesinambungan terhadap bahan tanam jeruk yang masuk dari luar daerah, pengadaan bibit sehat setempat, eradikasi terhadap tanaman yang memperlihatkan gejala terserang penyakit yang berbahaya seperti CVPD serta pemantauan dan pengendalian vektornya, perakitan teknologi spesifik lokasi, pembangunan kebun plasma nutfah di luar Kabupaten Selayar, dan budi daya jeruk sehat.

Kepulauan Selayar adalah sebuah kepulauan yang  terpisah dari daratan Sulawesi dengan luas sekitar 2.000 km2 yang membentang dari utara ke selatan. Bagian pantai barat dan utara dari kepulauan ini berupa bebatuan yang cadas dan terjal, sementara pantai timur dan sebagian pantai selatan berupa pantai yang landai dan berupa area hutan produksi serta perkebunan rakyat.
Kekhasan pulau ini diperkirakan menyimpan berbagai macam fauna endemik dan menarik, serta macam-macam flora (buah-buahan) yang dilestarikan dengan baik oleh pemerintah setempat, yang juga menjadi ikon Kepulauan Selayar. Salah satu jenis buah-buahan yang dilestarikan dan dijaga dengan baik oleh petani serta pemerintah setempat adalah buah jeruk, yang lebih dikenal dengan sebutan ‘jeruk keprok’.
Pembudidayaan jeruk keprok ini tersebar di daratan Kepulauan  Selayar terutama di Kecamatan Bontoharu, Bontomatene, dan Bontosikuyu. Oleh karena itu, pemerintah daerah setempat menetapkan jeruk sebagai salah satu komoditas andalan dan dikembangkan dalam skala agribisnis (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Selayar, 1996).
Jika jeruk Malangke yang terkenal manis itu dalam setahun dapat berbuah dua kali namun jeruk keprok Selayar ini hanya sekali. Tapi mengenai aroma, jeruk Selayar tidak boleh dipandang sebelah mata. Mesti dua mata.
Jeruk Selayar telah menjadi buah bibir sejak dahulu. Warnanya yang cerah, segar dengan ukuran yang relatif besar terlihat sebagai jeruk asli, jeruknya jeruk dengan cita rasa menawan. Jeruk Malangke lazim disuguhkan di cafĂ© ala jus maka jeruk Selayar, indah ditata atau dicicipi di meja layaknya makanan para raja atau penguasa tempo dulu. Isinya yang padat, bening dengan rasa manis optimum membuatnya layak dikenang dan diceritakan. Aromanya yang khas layak disandingkan dengan jeruk sunkist  dari benua seberang. Atau bahkan lebih tinggi derajatnya.

AGROEKOLOGI PERTANAMAN JERUK DI KABUPATEN SELAYAR
Kabupaten Selayar merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah 903,35 km². Menurut laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Selayar (1998), terdapat lima jenis tanah di daerah ini, yaitu Litosol, Regosol Kelabu, Kompleks Rensina dan Regosol, Mediteran Cokelat dan Merah, dan Latosol. Daerah terletak pada ketinggian tempat                   0–600 m dari permukaan laut, dengan topografi datar sampai bergelombang. Pada lahan yang baru ditanami jeruk, kesuburan tanah tergolong cukup baik.
Rata-rata curah hujan selama 10 tahun (19891998) tercatat 1.255 mm/ tahun dengan 80 hari hujan. Musim hujan  jatuh  pada bulan November-Maret dan musim kemarau pada bulan April-Oktober. Iklim dengan musim kering yang jelas pada bulan-bulan Juli hingga Oktober setiap tahun merupakan kondisi yang ideal untuk pertumbuhan tanaman jeruk keprok (Erickson 1968; Sunarjono 1990). Tanaman umumnya berbunga pada bulan Desember-Januari dan musim panen jatuh pada bulan Juli-Agustus. Pertanaman jeruk di Kabupaten Selayar terdapat pada lima kecamatan, yaitu: Bontomatene, Bontosikuyu, Bontoharu,Pasimasunggu, dan Pasimarannu. Pertanaman yang terluas terdapat di Kecamatan Bontomatene, kemudian disusul oleh Kecamatan Bontosikuyu dan Bontoharu (Tabel 2). Setiap petani memiliki pertanaman jeruk 0,50–1 ha atau 200–400 pohon per kepala keluarga (KK).
Menurut petugas pertanian dan masyarakat setempat, buah jeruk dengan mutu terbaik dihasilkan di Kelurahan Batang Mata dan Batang Matasapo. Pertanaman jeruk di daerah ini terletak pada ketinggian 50–200 m dari permukaan laut dengan keadaan tanah berbatu karang.
Menurut pengalaman petani, jeruk sangat baik tumbuhnya pada tanah yang demikian. Berdasarkan ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk tanaman jeruk keprok selayar, terdapat sekitar 6.750 ha lahan yang potensial untuk pengembangan jeruk keprok selayar (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Selayar 1996). Melalui proyek pengembangan agribisnis hortikultura, telah dikembangkan jeruk keprok selayar seluas 500 ha sampai musim tanam tahun 1999/2000. Dengan adanya pengembangan tersebut, luas pertanaman mencapai 800 ha atau 320.000 pohon.

INDIGENOUS TEKNOLOGI
Informasi mengenai teknologi suatu  komoditas yang berkembang di suatu daerah sangat penting artinya dalam perakitan teknologi spesifik lokasi, karena teknologi yang ada di masyarakat umumnya sudah menggambarkan berbagai faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi tersebut.
Pemahaman yang benar tentang masalah yang ada di tingkat petani akan memudahkan bagi perakit teknologi untuk memodifikasi atau memperbaiki teknologi yang ada sehingga lebih mudah diterima petani. Hal ini karena adopsi suatu teknologi bergantung kepada banyak faktor yang berhubungan dengan lingkungan permasalahan petani, kondisi sosial ekonomi dan pengetahuan petani, kebijakan dan keterbatasan dalam tindakan operasional, serta keterbatasan pada teknologi yang baru (Oka et al. 1993).
Pada umumnya (51,98%) petani jeruk di Kabupaten Selayar memperoleh  pengetahuan budi daya jeruk secara turun temurun dengan alasan sangat menguntungkan (46,11%) dan hanya 1,91% petani yang ikut-ikutan. Rata-rata petani telah berpengalaman selama 15 tahun dalam berusaha tani jeruk. Setiap petani rata-rata memiliki 200400 pohon. Sebagian petani membagi lahannya menjadi dua bagian, yaitu 0,50 ha untuk tanaman jambu mete dan 0,50 ha untuk jeruk keprok (Taufik et al. 2000).
Pada dasarnya petani menyadari bahwa banyaknya tanaman jeruk yang mati disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan terutama pengendalian hama dan penyakit. Namun karena terbatasnya pengetahuan, pengendalian hama/penyakit masih dilakukan secara tradisional. Meskipun demikian, pola usaha tani yang berkembang sudah mengarah kepada usaha tani komersial karena sebagian besar buah jeruk dijual. Berikut ini diuraikan cara-cara budi daya jeruk yang dilakukan oleh petani di Selayar.

1.      Bahan Tanam
Petani jeruk di Kabupaten Selayar menanam jeruk dari biji, karena tanaman yang berasal dari biji tumbuh lebih tinggi dan percabangannya banyak, sehingga buah yang dihasilkan pada fase generative juga banyak, sekitar 500–1.000  buah/pohon pada umur 8–12 tahun. Bibit jeruk yang berasal dari biji juga berumur panjang (2030 tahun) dengan produktivitas tanaman yang stabil. Namun, tanaman baru mulai berbuah pada umur 6–8 tahun dan pada tahun pertama berbuah, hanya 40–50% dari populasi tanaman yang ada. Penyakit busuk pangkal akar yang disebabkan oleh Phytophthora sp. Juga merupakan salah satu kendala pengembangan jeruk keprok selayar dari biji. Untuk mengatasi masalah tersebut telah dikembangkan jeruk keprok selayar dengan batang bawah Japansche citroen (JC) seluas 500 ha. Namun, teknologi ini belum sepenuhnya dapat diterima petani, karena kemungkinan buah yang dihasilkan akan menjadi asam atau bibit JC tersebut terkontaminasi oleh organisme pengganggu tanaman.
Para penangkar benih hortikultura diharapkan dapat mempercepat sosialisasi penggunaan bibit jeruk hasil sambungan/okulasi dengan menggunakan batang bawah local atau JC. Batang bawah yang digunakan berasal dari Pulau Jawa yang merupakan daerah endemik. Oleh karena itu, indeksing perlu dilakukan untuk memastikan bahwa benih/bibit jeruk tersebut bebas dari hama/penyakit yang berbahaya.

2.      Sanitasi Kebun
Sanitasi kebun merupakan salah satu kunci yang menentukan keberhasilan budi daya jeruk. Namun, umumnya petani kurang memperhatikan hal ini. Pembuangan tanaman pengganggu hanya dilakukan saat tanaman berbunga atau menjelang panen. Akibatnya, berbagai macam gulma tumbuh di kebun jeruk yang dapat menjadi faktor pendorong berkembangnya berbagai macam organisme pengganggu tanaman. Pengusahaan tanaman sela dengan pola yang teratur di antara tanaman jeruk dapat menjadi alternatif pemecahan masalah ini.

3.      Pemupukan
Pemupukan dengan menggunakan kotoran ternak umumnya hanya dilakukan untuk tanaman muda (umur 1-3 tahun) dengan takaran disesuaikan persediaan. Tanaman dewasa (berumur lebih dari 3 tahun) tidak dipupuk. Di Kelurahan Batang Mata dan Batang Matasapo, petani umumnya menambatkan ternaknya pada pohon jeruk dan dipindahkan secara bergilir dari pohon yang satu ke pohon yang lain dengan lama penambatan pada setiap pohon + 5 hari.
Dengan cara ini tanaman dapat tumbuh subur karena adanya kotoran ternak tanpa biaya dan kerja tambahan. Namun, cara ini dapat menimbulkan luka pada batang karena terjadinya gesekan antara tali dan batang. Luka tersebut dapat menjadi tempat masuk dan berkembangnya penyakit blendok dan busa. Cara ini juga menyebabkan terjadinya pemadatan tanah sehingga sukar ditembus akar.
Taufik et al. (2000) menyatakan bahwa takaran pupuk untuk tanaman jeruk keprok selayar umur satu tahun dengan batang bawah JC adalah 150 g urea + 40 g SP36 + 30 g KCl per pohon per tahun. Penggunaan pupuk mikro melalui daun dapat membantu mengatasi berbagai gejala kekahatan unsur mikro terutama Zn dan Cu.

4.      Pengendalian Hama dan Penyakit
Serangan organisme pengganggu tanaman yang cukup tinggi terhadap pertanaman jeruk keprok selayar merupakan salah satu alasan utama bagi sebagian petani untuk mengganti tanaman jeruk dengan tanaman lain terutama jambu mete. Penyakit utama yang dikeluhkan oleh petani adalah penyakit busa dan blendok. Tanaman yang terserang penyakit ini akan mengalami mati ranting secara bertahap dan akhirnya mati. Luas serangan penyakit blendok dan busa mencapai 60100% (Tabel 3). Penggunaan fungisidadan insektisida belum dikenal oleh petani.


5.      Pemangkasan
Pemangkasan dilakukan secara berkala dengan membuang cabang-cabang yang mati dan wiwilan. Pemangkasan bentuk dan perangsangan pembentukan buah belum dilakukan, sehingga tajuk tanaman sangat lebat dan percabangannya tidak teratur. Kondisi ini dapat mendorong berkembangnya berbagai organisme pengganggu tanaman dan menyulitkan pemeliharaan tanaman. Pembinaan petani melalui penyuluhan atau studi banding ke daerah pertanaman jeruk yang baik dapat membantu mempercepat sosialisasi teknologi pemangkasan, karena petani masih menganggap bahwa pemangkasan akan mengurangi produktivitas tanaman atau menyebabkan tanaman tidak berbuah sama sekali.

6.      Pola Tanam dan Konservasi Tanah
Konservasi tanah perlu mendapat perhatian dalam pengembangan jeruk keprok selayar, karena areal pengembangan umumnya berupa lahan berbukitbukit dengan jenis tanah yang peka terhadap erosi. Beberapa kebun bahkan sudah tererosi berat (solum tanah hanya tertinggal 510 cm) dan sebagian ditumbuhi alang-alang. Pada kondisi yang demikian, petani tidak lagi memelihara tanaman jeruk dan menggantinya dengan jambu mete.
Pola pertanaman lorong merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Pola ini memasukkan tanaman pagar yang dapat berfungsi sebagai pupuk hijau atau menjadi pakan ternak mengingat sebagian besar petani memiliki ternak seperti kambing, sapi atau kuda. Tanaman sela yang dianjurkan seperti kacang hijau dan jagung umumnya sudah populer di kalangan petani. Penggunaan sisa sisa tanaman sebagai mulsa dapat dilakukan untukmengatasi ancaman kekeringan pada musim kemarau. Petani biasanya menumpuk sisa-sisa tanaman di bawah pohon, sehingga berpeluang menjadi sarang rayap. Untuk mengatasi masalah ini, jarak antara mulsa dan batang tanaman perlu diperlebar.

STRATEGI PELESTARIAN JERUK SELAYAR
Rehabilitasi jeruk keprok di Sulawesi Selatan telah dimulai pada tahun 1997 melalui proyek agribisnis hortikultura seluas 1.500 ha dan berakhir tahun 2000. Rehabilitasi dilakukan di tiga kabupaten yaitu Bantaeng, Bulukumba, dan Selayar masing-masing seluas 500 ha. Di daerah tersebut, sebagian petani menggantungkan hidupnya dari usaha tani jeruk, sehingga rehabilitasi tanaman perlu dilakukan untuk mempertahankan kesinambungan produksi jeruk. Upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk melestarikan jeruk keprok selayar dapat berupa upaya jangka pendek dan jangka panjang.
Upaya jangka pendek meliputi pengawasan secara ketat terhadap bibit jeruk dari luar daerah atau pelarangan memasukkan bibit dari daerah lain, pengadaan bibit setempat, eradikasi terhadap tanaman yang terserang CVPD, serta perakitan teknologi spesifik lokasi khususnya teknologi pengendalian penyakit blendok dan busa.
Upaya jangka panjang berupa pembuatan kebun plasma nuftah dan budi daya jeruk sehat. Pengendalian penyakit dengan target mengembalikan posisi Selayar sebagai sentra jeruk di Indonesia telah diprogramkan melalui penggunaan bibit jeruk bebas penyakit, pengendalian terpadu serangga vektor D. citri, serta memfungsikan system alur dan mekanisme penyebaran bibit jeruk bebas penyakit (Winarno 1998).

·         Pengawasan Benih/Bahan Tanam
Kabupaten Selayar merupakan daerah kepulauan yang terpisah oleh laut dari kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan. Pengawasan benih secara ketat di pelabuhan merupakan salah satu upaya untuk mencegah masuknya hama atau vektor penyakit yang hingga kini masih sulit dikendalikan.
Kebijakan pemerintah daerah yang melarang masuknya bibit jeruk dari luar Kabupaten Selayar merupakan upaya terbaik untuk melindungi pertanaman jeruk keprok selayar dari hama atau penyakit yang berbahaya. Pengalaman menunjukkan bahwa masuknya bibit jeruk dari daerah endemic telah menghancurkan pertanaman jeruk di beberapa lokasi yang pernah menjadi sentra produksi jeruk di Sulawesi Selatan seperti Sidrap. Masuknya bibit tersebut agak sulit dideteksi oleh petugas karantina karena menggunakan kemasan yang isinya seolah-olah bukan tanaman. Oleh karena itu, di samping pengawasan juga perlu dilakukan penyuluhan untuk mengingatkan masyarakat agar menggunakan bibit jeruk bebas penyakit.

·         Pengadaan Bibit Setempat
Usaha-usaha untuk mendapatkan jeruk yang toleran terhadap CVPD terus dilakukan, namun hingga kini baru jeruk nambangan yang diketahui toleran terhadap penyakit CVPD, dan jeruk konde Purworejo agak toleran (Dwiastuti 2000).  Oleh karena itu, pengadaan bibit dengan menggunakan jenis jeruk setempat merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan jeruk keprok selayar.
Menurut Tantra (1983), introduksi tumbuhan asli (lokal) ke dalam program penangkaran merupakan tindakan yang rasional. Hal ini memungkinkan pengkombinasian antara varietas asli lokal yang telah beradaptasi dengan lingkungan dengan varietas-varietas baru hasil persilangan yang mempunyai potensi produktif. Teknologi pembibitan jeruk bebas penyakit telah banyak didokumentasikan, seperti media yang cocok (Supriyanto et al. 1994), perendaman mata tempel ke dalam larutan penisilin (Roesmiyanto et al. 2000), dan penyambungan tunas pucuk secara in vitro (Navarro et al. 1974).
Menurut Hardiyanto et al. (2000), penerapan teknologi rekomendasi pembibitan jeruk bebas penyakit dapat mempercepat masa penyambungan 22,50 bulan dengan pertumbuhan bibit yang lebih baik dibandingkan dengan cara petani. Tanaman jeruk yang akan dijadikan tetua atau pohon induk, baik untuk batang atas maupun batang bawah, harus diindeksing untuk memastikan bahwa jeruk tersebut tidak terserang penyakit terutama CVPD.
Hingga kini, mata temple jeruk keprok selayar yang sehat baru dapat diperoleh dari blok fondasi yang terletak di Kota Makassar (ditempuh 10 12 jam dengan perjalanan darat). Blok fondasi tersebut memasok kebutuhan mata tempel untuk blok perbanyakan mata tempel (BPMT) di Sulawesi Selatan.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk membangun satu blok fondasi di Kabupaten  Selayar. Pohon induk untuk blok fondasi diambil dari jeruk yang sehat, kemudian diperbanyak melalui teknik penyambungan tunas pucuk secara invitro yang terbukti dapat membebaskan jeruk dari penyakit yang berbahaya (Navarro et al. 1974). Blok fondasi tersebut akan memasok kebutuhan mata temple BPMT yang selanjutnya menjadi sumber mata tempel untuk penangkar benih. Blok fondasi diusahakan terisolir dari pertanaman jeruk. Pengelolaannya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah atau swasta. Pohon induk di blok fondasi dipantau secara berkala melalui indeksing dan dievaluasi keragamannya. Jika dijumpai pohon induk yang terinfeksi atau menyimpang dari sifat induknya, maka tanaman tersebut diganti dengan bibit yang baru.
Pembangunan kebun yang secara khusus menghasilkan benih batang bawah juga perlu dipikirkan. Pada tahap awal, bibit untuk kebun tersebut dapat diambil dari luar daerah atau dari pertanaman setempat yang telah dinyatakan bebas dari penyakit yang berbahaya seperti tristeza dan CVPD. Untuk menjamin agar bibit yang dihasilkan oleh penangkar benih benarbenar sehat maka pengawasan dan sertifikasi benih diberlakukan sesuai dengan kaidah-kaidah atau aturan dalam menghasilkan bibit sehat dan unggul.
Namun demikian, perlu disadari bahwa pemakaian bibit bebas virus hanya merupakan pemecahan sementara, karena akan menghadapi masalah infeksi ulang di lapang dan akumulasi patogen pada bahan tanaman vegetatif serta penyebaran tidak sengaja melalui bibit vegetatif yang dipakai (Sudarsono 1995). Pengalaman pada padi menunjukkan bahwa petani sering mengeluh atas hasil dan kualitas benih bersertifikat, karena hasil benih bersertifikat tidak lebih baik dari yang tidak bersertifikat (Nugraha 2000).

·         Eradikasi
Tanaman yang terserang penyakit CVPD harus dimusnahkan agar penyebaran penyakit tidak meluas. Dalam hal ini diperlukan sosialisasi kepada petani sehingga mereka secara sukarela memusnahkan tanaman jeruk yang terserang CVPD. Pengalaman di beberapa daerah menunjukkan bahwa petani tidak bersedia memusnahkan tanamannya meskipun terserang penyakit yang berbahaya tersebut.
Eradikasi harus diikuti pemantauan dan pengendalian secara berkesinambungan terhadap vektor CVPD. Menurut Tirtawidjaja (1983), eradikasi total dan adanya tenggang waktu paling sedikit satu tahun setelah pohon terakhir dibongkar, sebelum dilakukan penanaman kembali, merupakan salah satu cara penanggulangan CVPD. Sikap mental masyarakat sangat berpengaruh terhadap keberhasilan eradikasi. Eradikasi tidak  hanya ditujukan kepada jeruk yang sakit, tetapi juga terhadap tanaman lain yang menjadi inang D. citri seperti kemuning (Murraya penniculata), tapak dara (Vincarosea), dan litsea (Litsea sinensis) untuk menghilangkan sumber inokulum.



·        Pembinaan Penangkar Benih Dan Penyuluh
Pelatihan dan bimbingan kepada penangkar benih perlu dilakukan agar mereka dapat membantu menyosialisasikan penggunaanbibit jeruk sehat kepada petani. Triwiatno et al. (1995) melaporkan bahwa bibit jeruk bebas penyakit yang berasal dari penyambungan tunas pucuk dan penggandaan mata tempelnya ditangani oleh penangkar bibit yang terbina baik, terbukti bebas CVPD dan CTV, sedang yang ditangani oleh penangkar bibit yang kurang terbina telah ada indikasi tercemar CTV.
Peningkatan kemampuan penyuluh pertanian dalam menangani jeruk juga akan menentukan keberhasilan pengembangan jeruk di Selayar. Pendidikan jangka pendek berupa pelatihan / atau magang merupakan salah satu cara untuk mengatasi ke langkaan penyuluh/petugas lapang.
Untuk memudahkan pengawasan dan pembinaan pembibitan jeruk bebas penyakit CVPD, perlu dilakukan pemilihan penangkar yang dianggap mampu menangani
tugas tersebut. Penangkar yang terpilih akan memperoleh mata temple dari BPMT dan mendapatkan pembinaan dan pengawasan yang ketat dari segi sanitasi peralatan perbanyakan tanaman, seperti pisau okulasi dan gunting pangkas untuk menghindari infeksi ulang penyakit. Penangkar yang bibitnya terinfeksi penyakit dilarang berproduksi yang didukung oleh perangkat hukum/peraturan.
Bibit jeruk bermutu hanya akan dihasilkan oleh penangkar bibit jika tahapan penangkaran dilakukan dengan tepat dan benar sesuai dengan program sertifikasi bibit yang berlaku (Roose   dan Traugh 1988).

·         Kebun Plasma Nuftah
Tanaman budidaya, yang merupakan cadangan genetik alami, dihadapkan pada ancaman kepunahan (Hondelman 1975).  Proses kepunahan tersebut dalam beberapa dekade terakhir dipercepat dengan adanya tiga fenomena penting, yaitu:
1) Erosi materi plasma nutfah itu sendiri;
2) Makin seragamnya sifat genetic dari tanaman budi daya di satu sisi dan di lain pihak terjadi kehilangan keanekaragaman plasma nutfah; serta
3) Ketidaktahanan varietas-varietas tanaman budidaya terhadap serangan hama dan penyakit.

Pembangunan kebun plasma nuftah jeruk dimaksudkan untuk melestarikan sumber daya keanekaragaman jenis dan genetik jeruk. Kebun dibangun di luar Kabupaten Selayar, misalnya di Balai Penelitian Buah di Solok atau Tlekung untuk mendukung penelitian-penelitian yang berkaitan dengan tanaman tersebut. Koleksi plasma nutfah jeruk dapat menjadi sumber bahan baku dalam kegiatan pemuliaan. Setiap jenis plasma nutfah ditanam di kebun yang lokasinya berbeda, sehingga bila terjadi gangguan masih ada duplikatnya di tempat lain.

…….DAN JERUK KEPROK DALAM WADAH KOPERASI
            Dalam dunia perdagangan, khususnya perdagangan buah, jeruk keprok yang merupakan hasil kebun dari tanah Kepualaun Selayar telah merajai beberapa pasar-pasar buah dunia. Seperti yang dijelaskan di dalam pembahasan di atas bahwa buah jeruk dari pulau selayar ini sangatlah berbeda dari buah-buah jeruk dari kota-kota bahkan Negara-negara lain di dunia. Terdapat banyak keunggulan yang ditonjolkan dari jeruk keprok asli pulau selayar ini, seperti: Dari segi warna dan rasa.
            Jeruk Keprok yang telah mulai mendunia ini, membawa Kepulauan Selayar keluar dari kata ‘keterpurukan dan keterpencilan’ sebuah pulau kecil di pelosok selatan dari Pulau Sulawesi-Selatan ini.
            Keberhasilan para petani memberikan warna baru dalam dunia perdagangan dan perekonomian tidak lepas dari campur tangan pemerintah dan masyarakat maupun oknum-oknum yang terkait dengan hal-hal tersebut. Pemerintah yang sejak awal selalu mensosialisakan mengenai Koperasi di beberapa daerah tertentu dinyatakan berhasil.
            Upaya pemerintah menyediakan Koperasi Unit Desa (KUD) di seluruh desa-desa di Indonesia (khususnya), juga mendatangkan dan memberikan berbagai macam kemudahan bagi para petani. Para petani merasa terbantu dengan hadirnya pelayanan dari pemerintah ini. Setelah panen, para petani jeruk keprok tersebut tidak lagi secara langsung menjual hasil-hasil panen mereka ke pasar ataupun membawa hasil panen mereka langsung ke kota untuk diperdagangkan. Tetapi mereka hanya mengumpulkan hasil-hasil panen jeruk-jeruk mereka langsung ke KUD-KUD terdekat yang ada di desa mereka. Langkah tersebut sangat memudahkan baik para petani maupun para pedagang-pedagang besar, seperti: supermarket maupun minimarket.
            Di zaman yang modern seperti sekarang ini, telah banyak sekali kemudahan-kemudahan yang diperkenalkan hingga ke pelosok desa di sebuah daerah. Pengaruh IPTEK dan arus globalisasi dari bangsa barat, menjadikan negara kita mengalami perubahan secara lamban tetapi menyeluruh. Begitu juga di dalam dunia perekonomian. Keikutcampuran zaman modern ini memudahkan akses-akses mereka (para petani) untuk mengaplikasikan dan memperkenalkan hasil-hasil pertanian terbaik mereka di kancah dunia.